Hari yang semakin beringsut ke ambang senja menggesanya untuk beredar dari tepi tebing sungai. Burung-burung sudah banyak yang berterbangan menghampiri pohon-pohon yang semakin samar-samar dengan warna senjanya. Waktu bagi burung untuk beristirihat dan tidur
lebih awal daripada manusia semakin sampai, dan waktu itu bukan masanya lagi bagi dirinya berada di situ. Dia pulang dengan perasaan yang lebih aman dalam suara azan yang sayup-sayup sampai ke telinganya. Hanya Dia berasa agak aneh, bunyi burung yang riuh sebentar tadi tiba-tiba menipis lalu tenggelam pada saat suara azan itu kedengaran. Kenapa?
Sebelum Dia menghantar dirinya ke katil untuk tidur seperti biasa , Dia dibebani dengan keinginan untuk mengucapkan entah apa yang dirasakannya. Ada kata-kata yang tak teratur
berselerak dalam fikirannya. Akan sia-sia sahaja kalau Dia mengajar matanya untuk lelap tanpa menurunkan sekalian kata-kata yang berterbangan dalam cakerawala fikirannya. Lalu akhirnya Dia menulis begini:
Seperti Sungai Mengalir
Jadilah seperti sungai yang mengalir,
Perlahan-lahan sewaktu malam,
Jangan gentar pada gelap hitam,
Kalau ada bintang di langit, ia menjadi teman,
Ingatlah awan, seperti sungai adalah air,
Tak berhenti mengalir.
Dengan lukisan pengalaman itu Dia mebebaskan kerusuhan perasaannya dan bersedia untuk tidur dengan harapan Dia akan bermimpikan sebuah sungai mengalir jauh di depan jendela seperti yang pernah menggoda perasaannya sewaktu menyaksikan dari jendela hotel, Sungai Musi di Banyu Wangi, Palembang, dan sebatang sungai di Frankfurt pada suatu musim gugur beberapa tahun yang lalu.
( Bersambung...... )
1 comment:
Dato' Baha Zain yang dikasihi,
Apakah kita akan kehilangan suasana dusun damai dan suara mergastua yang mengikat nostalgia kita? Saya selalu bertanya kepada diri sendiri, ke manakah kita hendak dibawa oleh arus sungai yang tebing dan alurnya sering mengila itu? Saya masih mencari jawapan setelah tebing dan alur itu terpugar.
Salam dari tanah air.
Shamsudin Othman.
Madrasah Sham al-Johori.
Post a Comment